Saturday, February 23, 2008

KHALIL GIBRAN

Khalil Gibran (1883-1931)

Gibran Khalil Gibran was born on January 6, 1883, to the Maronite family of Gibran in Bsharri, a mountainous area in Northern Lebanon [Lebanon was a Turkish province part of Greater Syria (Syria, Lebanon, and Palestine) and subjugated to Ottoman dominion]. His mother Kamila Rahmeh was thirty when she begot Gibran from her third husband Khalil Gibran, who proved to be an irresponsible husband leading the family to poverty. Gibran had a half-brother six years older than him called Peter and two younger sisters, Mariana and Sultana, whom he was deeply attached to throughout his life, along with his mother. Kamila's family came from a prestigious religious background, which imbued the uneducated mother with a strong will and later on helped her raise up the family on her own in the U.S. Growing up in the lush region of Bsharri, Gibran proved to be a solitary and pensive child who relished the natural surroundings of the cascading falls, the rugged cliffs and the neighboring green cedars, the beauty of which emerged as a dramatic and symbolic influence to his drawings and writings. Being laden with poverty, he did not receive any formal education or learning, which was limited to regular visits to a village priest who doctrined him with the essentials of religion and the Bible, alongside Syriac and Arabic languages. Recognizing Gibran's inquisitive and alert nature, the priest began teaching him the rudiments of alphabet and language, opening up to Gibran the world of history, science, and language. At the age of ten, Gibran fell off a cliff, wounding his left shoulder, which remained weak for the rest of his life ever since this incident. To relocate the shoulder, his family strapped it to a cross and wrapped it up for forty days, a symbolic incident reminiscent of Christ's wanderings in the wilderness and which remained etched in Gibran's memory.

At the age of eight, Khalil Gibran, Gibran's father, was accused of tax evasion and was sent to prison as the Ottomon authorities confiscated the Gibrans' property and left them homeless. The family went to live with relatives for a while; however, the strong-willed mother decided that the family should immigrate to the U.S., seeking a better life and following in suit to Gibran's uncle who immigrated earlier. The father was released in 1894, but being an irresponsible head of the family he was undecided about immigration and remained behind in Lebanon.

On June 25, 1895, the Gibrans embarked on a voyage to the American shores of New York.

The Gibrans settled in Boston's South End, which at the time hosted the second largest Syrian community in the U.S. following New York. The culturally diverse area felt familiar to Kamila, who was comforted by the familiar spoken Arabic, and the widespread Arab customs. Kamila, now the bread-earner of the family, began to work as a peddler on the impoverished streets of South End Boston. At the time, peddling was the major source of income for most Syrian immigrants, who were negatively portrayed due to their unconventional Arab ways and their supposed idleness.

In the school, a registration mistake altered his name forever by shortening it to Kahlil Gibran, which remained unchanged till the rest of his life despite repeated attempts at restoring his full name. Gibran entered school on September 30, 1895, merely two months after his arrival in the U.S. Having no formal education, he was placed in an ungraded class reserved for immigrant children, who had to learn English from scratch. Gibran caught the eye of his teachers with his sketches and drawings, a hobby he had started during his childhood in Lebanon.

Gibran's curiosity led him to the cultural side of Boston, which exposed him to the rich world of the theatre, Opera and artistic Galleries. Prodded by the cultural scenes around him and through his artistic drawings, Gibran caught the attention of his teachers at the public school, who saw an artistic future for the boy. They contacted Fred Holland Day, an artist and a supporter of artists who opened up Gibran's cultural world and set him on the road to artistic fame...

Lebanese-American philosophical essayist, novelist, mystical poet, and artist.

Gibran's works were especially influential in the American popular culture in the 1960s. In 1904 Gibran had his first art exhibition in Boston. From 1908 to 1910 he studied art in Paris with August Rodin. In 1912 he settled in New York, where he devoted himself to writing and painting. Gibran's early works were written in Arabic, and from 1918 he published mostly in English. In 1920 he founded a society for Arab writers, Mahgar (al-Mahgar). Among its members were Mikha'il Na'ima (1889-1988), Iliya Abu Madi (1889-1957), Nasib Arida (1887-1946), Nadra Haddad (1881-1950), and Ilyas Abu Sabaka (1903-47). Gibran died in New York on April 10, 1931. Among his best-known works is THE PROPHET, a book of 26 poetic essays, which has been translated into over 20 languages. The Prophet, who has lived in a foreign city 12 years, is about to board a ship that will take him home. He is stopped by a group of people, whom he teaches the mysteries of life.

Selected works:

  • ARA'IS AL MURUDJ, 1906
  • STONEFOLDS, 1907
  • ON THE THRESHOLD, 1907
  • AL-ARWAH AL-MUTAMARRIDA, 1908
  • DAILY BREAD, 1910
  • FIRES, 1912
  • AL-AJNIHA AL-MUTAKASSIRAH [The broken wings], 1912
  • DAM'AH WA-IBTISAMAH [A Tear and a Smile], 1914
  • THE MADMAN, 1918
  • AL-MAWAKIB [The Procession], 1919
  • THE FORERUNNER, 1920
  • SPIRITS REBELLIOUS, 1920
  • THE PROPHET, 1923
  • SAND AND FOAM, 1926
  • JESUS, THE SON OF MAN, 1928
  • THE EARTH GODS, 1931
  • GARDEN OF THE PROPHET, 1933
  • THE DEATH OF THE PROPHET, 1933
  • TEARS AND LAUGHTER, 1947
  • NYMPHS OF THE VALLEY, 1948

Saturday, February 16, 2008

Bangsa Kasihan

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,
dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur,
sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,
dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya
sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu
dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,
dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

~ Khalil Gibran

nasehat jiwaku

Jiwaku berkata padaku dan menasihatiku agar
mencintai semua orang yang membenciku,

Dan berteman dengan mereka yang memfitnahku.
Jiwaku menasihatiku dan mengungkapkan kepadaku
bahawa cinta tidak hanya menghargai orang yang mencintai,
tetapi juga orang yang dicintai.

Sejak saat itu bagiku cinta ibarat jaring lelabah di antara dua bunga, dekat satu sama lain;
Tapi kini dia menjadi suatu lingkaran cahaya di sekeliling matahari yang tiada berawal pun tiada berakhir, Melingkari semua yang ada, dan bertambah secara kekal.

Jiwaku menasihatiku dan mengajarku agar melihat kecantikan yang ada di
sebalik bentuk dan warna.

Jiwaku memintaku untuk menatap semua yang buruk dengan tabah sampai nampaklah keelokannya.

Sesungguhnya sebelum jiwaku meminta dan menasihatiku,
Aku melihat keindahan seperti titik api yang tergulung asap;
tapi sekarang asap itu telah tersebar dan menghilang, dan aku hanya melihat api yang membakar.

Jiwaku menasihatiku dan memintaku untuk mendengar suara yang keluar bukan dari lidah maupun dari tenggorokan.
Sebelumnya aku hanya mendengar teriakan dan jeritan di telingaku yang bodoh dan sia-sia.

Tapi sekarang aku belajar mendengar keheningan,
Yang bergema dan melantunkan lagu dari zaman ke zaman.
Menyanyikan nada langit, dan menyingkap tabir rahsia keabadiaan..

Jiwaku berkata padaku dan menasihatiku agar memuaskan kehausanku dengan meminum anggur yang tak dituangkan ke dalam cangkir-cangkir,
Yang belum terangkat oleh tangan, dan tak tersentuh oleh bibir
Hingga hari itu kehausanku seperti nyala redup yang terkubur dalam abu.
Tertiup angin dingin dari musim-musim bunga;
Tapi sekarang kerinduan menjadi cangkirku,
Cinta menjadi anggurku, dan kesendirian adalah kebahagianku.

Jiwaku menasihatiku dan memintaku mencari yang tak dapat dilihat;
Dan jiwaku menyingkapkan kepadaku bahwa apa yang kita sentuh adalah apa yang kita impikan.

Jiwaku mengatakan padaku dan mengundangku untuk menghirup harum tumbuhan
yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga, dan yang tak pernah dapat dilihat mata.

Sebelum jiwaku menasihati, aku mencari bau harum dalam kebun-kebun,
Dalam botol minyak wangi tumbuhan-tumbuhan dan bejana dupa; Tapi sekarang aku menyedari hanya pada dupa yang tak dibakar,
Aku mencium udara lebih harum dari semua kebun-kebun di dunia ini dan semua angin di angkasa raya.

Jiwaku menasihatiku dan memintaku agar tidak merasa mulia
kerana pujian.
Dan agar tidak disusahkan oleh ketakutan kerana cacian.
Sampai hari ini aku berasa ragu akan nilai pekerjaanku;
Tapi sekarang aku belajar;
Bahawa pohon berbunga di musim bunga, dan berbuah di musim panas
Dan menggugurkan daun-daunnya di musim gugur untuk menjadi benar-benar telanjang di musim dingin.
Tanpa merasa mulia dan tanpa ketakutan atau tanpa rasa malu.

Jiwaku menasihatiku dan meyakinkanku
Bahawa aku tak lebih tinggi berbanding cebol ataupun tak lebih rendah
berbanding raksasa.
Sebelumnya aku melihat manusia ada dua,
Seorang yang lemah yang aku caci atau kukasihani,
Dan seorang yang kuat yang kuikuti, maupun yang kulawan
dalam pemberontakan.
Tapi sekarang aku tahu bahwa aku bahkan dibentuk oleh tanah
yang sama darimana semua manusia diciptakan.
Bahwa unsur-unsurku adalah unsur-unsur mereka, dan pengembaraan mereka adalah juga milikku.

Bila mereka melanggar aku juga pelanggar,
Dan bila mereka berbuat baik, maka aku juga bersama perbuatan baik mereka.
Bila mereka bangkit, aku juga bangkit bersama mereka;
Bila mereka tinggal di belakang, aku juga menemani mereka.

Jiwaku menasihatiku dan memerintahku untuk melihat bahawa cahaya yang kubawa bukanlah cahayaku,

Bahawa laguku tidak diciptakan dalam diriku;
Kerana meski aku berjalan dengan cahaya, aku bukanlah cahaya,
Dan meskipun aku bermain kecapi yang diikat kemas oleh dawai-dawaiku,
Aku bukanlah pemain kecapi.

Jiwaku menasihatiku dan mengingatkanku untuk mengukur waktu dengan perkataan ini: “Di sana ada hari semalam dan di sana ada hari esok.” Pada saat itu aku menganggap masa lampau sebuah zaman yang lenyap dan akan dilupakan, Dan masa depan kuanggap suatu masa yang tak bisa kucapai;

Tapi kini aku terdidik perkara ini : Bahawa dalam keseluruhan waktu masa kini yang singkat,
serta semua yang ada dalam waktu, Harus diraih sampai dapat.

Jiwaku menasihatiku, saudaraku, dan menerangiku.
Dan seringkali jiwamu menasihati dan menerangimu.
Kerana engkau seperti diriku, dan tak ada beza di antara kita.
Kusimpan apa yang kukatakan dalam diriku ini dalam kata-kata yang kudengar dalam heningku,
Dan engkau jagalah apa yang ada di dalam dirimu, dan engkau adalah penjaga yang sama baiknya seperti yang kukatakan ini.

~ Khalil Gibran

Kehidupan

Engkau dibisiki bahawa hidup adalah kegelapan
Dan dengan penuh ketakutan
Engkau sebarkan apa yang telah dituturkan padamu
penuh kebimbangan

Kuwartakan padamu bahawa hidup
adalah kegelapan
jika tidak diselimuti oleh kehendak
Dan segala kehendak akan buta bila tidak diselimuti pengetahuan
Dan segala macam pengetahuan akan kosong
bila tidak diiringi kerja
Dan segala kerja hanyalah kehampaan
kecuali disertai cinta

Maka bila engkau bekerja dengan cinta
Engkau sesungguhnya tengah
menambatkan dirimu
Dengan wujudnya kamu, wujud manusia lain
Dan wujud Tuhan.

~Khalil Gibran

Lagu Ombak

Pantai yang perkasa adalah kekasihku,
Dan aku adalah kekasihnya,
Akhirnya kami dipertautkan oleh cinta,
Namun kemudian Bulan menjarakkan aku darinya.
Kupergi padanya dengan cepat
Lalu berpisah dengan berat hati.
Membisikkan selamat tinggal berulang kali.

Aku segera bergerak diam-diam
Dari balik kebiruan cakerawala
Untuk mengayunkan sinar keperakan buihku
Ke pangkuan keemasan pasirnya
Dan kami berpadu dalam adunan terindah.

Aku lepaskan kehausannya
Dan nafasku memenuhi segenap relung hatinya
Dia melembutkankan suaraku dan mereda gelora di dada.
Kala fajar tiba, kuucapkan prinsip cinta
di telinganya, dan dia memelukku penuh damba

Di terik siang kunyanyikan dia lagu harapan
Diiringi kucupan-kucupan kasih sayang
Gerakku pantas diwarnai kebimbangan
Sedangkan dia tetap sabar dan tenang.
Dadanya yang bidang meneduhkan kegelisahan

Kala air pasang kami saling memeluk
Kala surut aku berlutut menjamah kakinya
Memanjatkan doa

Seribu sayang, aku selalu berjaga sendiri
Menyusut kekuatanku.
Tetapi aku pemuja cinta,
Dan kebenaran cinta itu sendiri perkasa
Mungkin kelelahan akan menimpaku,
Namun tiada aku bakal binasa.

~ Khalil Gibran

ibu

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

~ Khalil Gibran

Perjamuan Jiwa

BANGUNLAH, Cintaku. Bangun! Kerana jiwaku mengalu-alumu dari dasar laut, dan menawarkan padamu sayap-sayap di atas gelombang yang mengamuk
Bangunlah, kerana sunyi telah menghentikan derap kaki kuda dan langkah para pejalan kaki.
Rasa kantuk telah memeluk roh setiap laki-laki, sementara aku terbangun sendiri, rasa rindu membukakan kertas surat tidurku.
Cinta membawaku dekat denganmu, namun kebimbangan melemparkan diriku menjauh darimu.
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah nafasku meninggalkan tempat tidurku, Cintaku, kerana takut pada hantu lupa yang berada di balik selimut.
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah nafasku meninggalkan halaman buku yang kosong di depan mataku!
Bangun, bangunlah, Cintaku dan dengar diriku!
Aku mendengarkanmu, Cintaku! Aku mendengar panggilanmu dari lautan lepas dan merasakan lembutnya sentuhan sayapmu. Aku telah jauh dari ranjangku, beranjak ke tanah lapang, hingga embun membasahi kaki dan bajuku. Di sinilah aku berdiri, dibawah bunga-bunga pohon badam, memenuhi panggilan jiwamu.
Bicaralah padaku, Cintaku, dan biarkan nafasmu menghirup angin gunung yang datang padaku dari lembah-lembah Lebanon. Bicaralah. Tak ada yang akan mendengar selain diriku. Malam telah melarutkan semua manusia ditempat tidurnya.
Syurga telah menyulam cahaya rembulan dan menghamparkannya ke seluruh daratan Lebanon, Cintaku.
Syurga telah meriasnya dengan bayangan malam, jubah tebal membentang dihembus asap dari cerobong kain, dihembus nafas kemari, dan mengelarnya di telapak kota, Cintaku.
Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri mimpi, Cintaku.
Lelaki-lelaki longlai menggendong emas, dan tebing curam yang akan dilalui melemaskan lutut mereka. Mata mereka mengantuk kerana dililit kesulitan dan ketakutan. Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat berlindung dari hantu-hantu yang menakutkan dan mengerikan, Cintaku.
Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah. Jiwa para raja melintasi bukit-bukit. Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan bangsa Chaldea, kemegahan Arab.
Di lorong-lorong gelap, jiwa-jiwa pencuri yang tegap berjalan, muncung-muncung nafsu ular berbisa muncul dari celah-celah benteng, dan rasa sakit berdengung kematian, muntah-muntah sepanjang jalan. Kenangan menyingkap tabir kelupaan dari mataku dan nampaklah Sodom yang menjijikkan, serta dosa-dosa Gomorah.
Ranting-ranting berayun-ayun, Cintaku, dan desirnya bertemu dengan alunan anak sungai di lembah. Syair-syair Sulaiman, nada kecapi Daud dan lagu Ishak Al-Mausaili terngiang-ngiang di telinga kami.
Jiwa anak-anak yang lapar di penginapan menggelupur, ibunya mengeluh di atas kamar kesedihan, dan kekecewaan telah jatuh dari langit. Mimpi-mimpi kebimbangan melanda hati yang lemah. Aku mendengar rintihan pahitnya.
Semerbak bunga melambai seiring nafas pohon-pohon cedar. Terbawa angin sepoi-sepoi menuju perbukitan, harum itu mengisi jiwa dengan kasih sayang dan meniupkan kerinduan untuk terbang.
Tetapi racun dari rawa-rawa jug berkelana mengepul bersama penyakit. Seperti panah rahsia yang tajam, racun itu telah menembusi perasaan dan meracuni udara.

Tanpa kusedari matahari telah mengilaukan cahaya pagi, Cintaku, dan jari-jari timur yang lentik menimang mata-mata orang yang terlelap. Cahaya itu memaksa mereka untuk membuka daun jendela dan menyelak hati dan kemenangan. Desa-desa, yang sedang tertidur dalam damai dan tenang di pundak-pundak lembah, bangun, loceng-loceng berdenting memenuhi angkasa sebagai panggilan untuk mula berdoa. Dan dari gua-gua, gema-gema juga berdengung, seolah-olah seluruh alam sedang berdoa bersama-sama dengan khusyuknya. Anak-anak sapi telah keluar dari kandangnya, biri-biri dan kambing meninggalkan bangsalnya untuk menuai rumput yang berembun dan berkilatan cahaya. Penggembalanya mengikuti dari belakang sambil mengamatinya di balik lelalang. Di belakangnya lagi gadis-gadis bernyanyi seperti burung menyambut pagi.

Kini tangan siang hari yang perkasa terbaring di atas kota. Tirai telah diselak dari jendela dan pintu pun terbuka. Mata yang penat dan wajah lesu para penjahit telah siap di tempat kerjanya. Mereka merasakan kematian telah melanggar batas kehidupan mereka, dan riak muka yang layu mempamerkan ketakutan dan kekecewaan. Di jalanan padat dengan jiwa-jiwa yang tamak dan tergesa-gesa, dan di mana-mana terdengar desingan besi, pusingan roda dan siulan angin. Kota telah menjadi arena pertempuran di mana yang kuat menindas yang lemah dan si kaya mengeksploitasi dan menguasai si miskin.

Betapa indah hidup ini, Cintaku, seperti hati penyair yang penuh dengan cahaya dan kelembutan hati.
Dan betapa kerasnya hidup ini, Cintaku, seperti dada penjahat, yang berdebar-debar kerana selalu merasa bimbang dan takut.

~ Khalil Gibran